Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Mahkamah Agung Di Indonesia

Mendengar namanya mungkin membuat Anda jadi membayangkan sebuah sistem peradailan yang cukup agung di negeri ini. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah. Karena Mahkamah Agung memang berkaitan dengan dunia hukum Indonesia secara luas.

Ketika ada sebuah lembaga negara tertinggi yang berurusan dengan sistem ketatanegaraan dan memegang kuasa tertinggi maka tidak lain dan tidak bukan itu adalah Mahkamah Agung. Bersama sebuah lembaga ketatanegaraan lain bernama Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung memegang jabatan tertinggi.

Kedua mahkamah tertinggi dan paling berkuasa di negeri ini, khususnya dalam bidang ketatanegaraan adalah dua lembaga yang bebas. Bebas di sini maksudnya adalah bebas dari intervensi dan pengaruh dari pihak manapun. Terutama lembaga yang juga mengurusi hal yang sama, peraturan.

Sejarah Mahkamah Agung Di Indonesia

Disebut terbesar dan terkuat karena Mahkamah Agung memang membawahkan lembaga-lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Lembaga hukum tertinggi milik Indonesia ini menjadi pengatur dan pemantau jalannya proses hukum pada lembaga peradilan yang sifatnya umum, lembaga peradilan yang mengatur hukum agama beserta penerapannya, lembaga peradilan yang sifatnya militer hingga lembaga peradilan yang sibuk mengurusi masalah tata usaha negara.

Jadi, bisa Anda bayangkan seperti apa kuasa yang dimiliki oleh lembaga ini. Melihat semua sistem peradilan hukum di negeri ini berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, rasanya sulit membayangkan untuk menganggap remeh lembaga terhormat ini. Tapi, itu semua tidak akan berlaku jika ada oknum MA menyalahgunakan kekuasaan.

Karena faktanya, semakin tinggi jabatan seseorang atau semakin leluasa kekuasaan yang dimiliki, maka semakin sesuka hatilah orang tersebut bertindak. Jika yang dilakukannya benar, tentu akan sangat tidak masalah, tetapi jika apa yang dilakukannya justru tidak layak, maka itu akan jadi batu sandungan. Pun dengan sebuah lembaga, seperti Mahkamah Agung ini.

Keleluasaan kuasa yang dimiliki para pejabat di Mahkamah Agung memberikan kemudahan yang ekstra bagi para anggotanya untuk melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Dan jika hal tersebut benar terjadi, maka sungguh rusaklah citra agung yang dimiliki oleh lembaga hukum tertinggi di Indonesia itu.

Sejarah Mahkamah Agung Di Indonesia

Apa-apa yang ada di Indonesia, terutama jika membicarakan tentang lembaga kepemerintahan, maka itu semua tidak akan lepas pengaruhnya dari masa penjajahan yang dialami Indonesia itu sendiri. Masa kelam selama berada di bawah kekuasaan Jepang dan Belanda ternyata membawa dampak baik bagi negara ini. Tentu saja ini di luar tentang penderitaan yang disebabkan oleh tindakan penindasan tersebut.

Hal ini juga terjadi pada cerita terbentuknya Mahkamah Agung. Pada 1807, Mr Herman Willem Deandels didaulat menjadi seorang gubernur oleh Napoleon, Lodewijk Napoleon. Napoleon memerintahkan Deandels untuk menjadi gubernur kala itu karena alasan untuk mempertahankan daerah jajahan Belanda dari serangan Inggris.

Sebagai informasi tambahan, jadi dahulu kala, negara kita sesungguhnya menjadi rebutan antara dua negara, Belanda dan Inggris. Nah, untuk mempertahankan Indonesia agar tidak jatuh ke tangan Inggris, pihak Belanda menyiapkan berbagai strategi. Dan strategi itulah yang dijalankan oleh Deandels.

Untuk memenuhi tugas yang diembankan kepadanya, Deandels kemudian banyak mengubah sistem peradilan yang sebelumnya sudah diciptakan oleh VOC. Salah satu perubahan yang diciptakannya adalah perubahan Raad van Justitie. Peraturan itu berubah menjadi Hooge Raad. Dan perubahan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah keberadaan Mahkamah Agung kini.

Deandels membuat sebuah piagam. Isinya adalah peraturan. Hal yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan secara hukum. Sayang bagi Deandels, apa yang dituliskannya dalam piagam belum sempat dilakukan. Karena pada saat itu Betaafse Republiek (pimpinan Deandels) sudah lebih dulu digantikan oleh pemerintahan yang sifatnya kerajaan.

Apa yang terjadi dalam cerita sejarah Mahkamah Agung berlanjut pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pembagian daerah-daerah kekuasaan menjadi peraturan yang difokuskan. Ada beberapa peradilan yang lahir pada masa itu. Peradilan tersebut berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, yaitu

  • Districgerecht
  • Regentschapsgerecht
  • Landraad
  • Rechtbank van Omgang
  • Raad van Justitie
  • Hooggerechtshof

Keberadaan peraturan tersebut tidak berlaku ketika Jepang mulai berkuasa. Cerita sejarah tentang Mahkamah Agung menemukan babak baru. Tapi rupanya, pihak Jepang punya kebijakan lain. Peraturan yang sudah diberlakukan Belanda untuk Pulau Jawa boleh tetap berlaku selama hal tersebut tidak bertentangan dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintahan Jepang saat itu.

Pihak Jepang juga turut membuat peraturan tentang pendirian lembaga-lembaga peradilan sipil yang bertugas untuk mengurusi hal-hal yang sifatnya pidana dan perdata. Lembaga peradilan yang berdiri pada zaman penjajahan Jepang sekaligus menjadi cikal bakal dunia hukum di Indonesia dalam hal ini Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

  • Gun Hooin (pengadilan yang fokus mengurusi masalah kewedanaan)
  • Ken Hooi (bertindak sebagai lembaga peradilan di tingkat kabupaten)
  • Keizai Hooin (lembaga peradilan yang yang sifatnya pidana atau kepolisian)
  • Tihoo Hooin (lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah pengadilan negeri)

Pada 1942, ketika UU No.14 digantikan dengan UU NO.34, lembaga pengadilan mendapatkan “anggota baru”. Adalah Kootoo Hooin atau pengadilan tinggi dan Saikoo Hooin yang kini dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama Mahkamah Agung.

Struktur Kepemimpinan dalam Mahkamah Agung

Layaknya sebuah lembaga, Mahkamah Agung juga memiliki susunan pengurus. Pengurus tertinggi tentu saja pimpinan, kemudian hakim anggota, seorang panitera dan sekretaris. Pemimpin serta hakim anggota pada Mahkamah Agung disebut hakim agung. Ada sebanyak 60 orang hakim agung yang berada di lembaga tersebut. Itupun sudah merupakan jumlah hakim agung terbanyak.

Jabatan pemimpin dalam Mahkamah Agung dipegang oleh satu orang ketua, dua pihak selaku wakil ketua serta ketua muda yang lebih dari satu. Dua pihak selaku wakil ketua tersebut masing-masing dibedakan atas tugas yang diembannya. Adalah wakil ketua yudisial dan wakil ketua non-yudisial.

Dalam menjalankan kewajibannya di Mahkamah Agung, wakil kepala yudisial menjadi atasan bagi ketua muda perdata, pidana, agama, serta tata usaha negara. Sementara wakil kepala non-yudisial, bertanggung jawab atas kinerja dari ketua muda pembinaan serta pengawasan. Lalu, siapa pihak yang berhak memutuskan siapa ketua Mahkamah Agung?

Pihak yang memilih adalah hakim agung, sementara pengangkatan atau persetujuan tentu saja dari kepala negara, presiden. Kriteria pemilihan Hakim Agung tidak terbatas pada satu golongan tertentu. Sebelum memutuskan untuk memilih Hakim Agung, pihak pimpinan Mahkamah Agung juga mendapat masukan serta pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat melalui komisi yudisialnya. Setelah itu, barulah calon Hakim Agung mendapatkan izin atau tidak dari presiden. Jika disetujui maka, jadilah ia seorang Hakim Agung, jika tidak, maka semua batal.

Dalam menjalankan tugas kesehariannya di Mahkamah Agung, Hakim Agung berhak mengadili serta memutus perkara yang sudah sampai pada tingkat Kasasi. Lalu, apa saja kewajiban serta kewenangan Mahkamah Agung?

  • Memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, serta memunyai kekuasaan lainnya yang diberikan mutlak oleh UU.
  • Berwenang untuk mengajukan tiga orang calon Hakim Konstitusi.
  • Berkewajiban untuk memberikan pertimbangan pada presiden dalam memutuskan pemberian grasi dan rehabilitasi pada kasus-kasus tertentu.

Keberadaan Mahkamah Agung di Indonesia ini memegang peranan penting. Terutama jika berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Baik yang sifatnya ketatanegaraan atau umum.

Mang Aip
Mang Aip Semoga Hari Esok Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "Sejarah Mahkamah Agung Di Indonesia"